Eksotisme Pesisir Ereke

Oleh R. Heru Hendarto (versi edit telah diterbitkan di Majalah Jalanjalan Januari 2012)

Ereke, adalah nama kabupaten baru di ujung utara Pulau Buton. Dahulu menginduk dengan kabupaten Raha di pulau Muna, Ereke kemudian melepas diri. Berada di provinsi Sulawesi Tenggara, daerah yang dahulunya bernama Kulisusu ini mewarisi keindahan bumi Sulawesi. Memiliki luas 1.923 km2, Buton Utara dengan semboyan Lipu Tinadeakono Sara (negeri yang didirikan dengan SARA) mulai menggeliat membangun ketertinggalannya.

 

Setelah menempuh perjalanan 2,5 Meriam kuno Mesjid Keraton Kulisusujam dan tiba di pelabuhan Wa Ode Buri, perjalanan diteruskan sejauh 15 km dengan ojek menuju Ereke. Memang tidak efisien untuk mendarat di pelabuhan Ereke karena kapal harus memutari tanjung dengan jarak yang sangat jauh. Mungkin perjalanan dari pelabuhan Ereke hanya efektif untuk tujuan-tujuan pelabuhan di sebelah timurnya, misal ke kota Wanci di Wakatobi atau Pasar Wajo di Buton sisi tenggara. Saya pun memilih Hasri, tukang ojek yang sopan menawarkanPemandian Ee Yi Ngkapala jasanya begitu saya keluar dari kapal. Bukan apa-apa, eneg saja rasanya melihat rombongan ojek yang tiba-tiba menyeruak masuk dengan helm terpasang ke kapal berlawanan dengan arus penumpang keluar hanya untuk berteriak-teriak menawarkan ojeknya. Hasri ini tenang pembawaannya, dan saya tidak salah pilih, dia pun membawa bebek Shogun-nya dengan hati-hati pula. Selain jalanan sebagian masih aspal berlubang, mungkin juga karena motornya terasa berat dibawa mengingat berat badan saya 95 kg, ditambah dua tas seberat 14 kg dan badan dia yang beratnya 75 kg sendiri.

 

Pukul 3 lewat lima belas Perahu-perahu kampung Bajomenit dan Hasri belum tampak batang hidungnya. Wah, lima belas menit lagi dia tidak muncul ya mohon maaf terpaksa saya harus cari orang lain. Syukurlah dia pun tiba di gerbang dan minta maaf karena tadi dapat penumpang ke Wa Ode Buri sehingga cukup memakan waktu dan dia tidak punya jam tangan, bahkan HP pun tidak. Oke lah, apologize accepted, saya pun segera meluncur ke barat menuju Keraton Lipu. Tidak seperti dugaan saya, keraton Lipu ini tak begitu luas dengan tembok pembatas yang sudah tidak begitu kentara. Di dalamnya, terdapat Mesjid Agung Kulisusu dan sebuah baruga sebagai tempat pertemuan. Tampak beberapa makam di sekitar lokasi dan sebuah pondok kecil bertuliskan Raha Bulelenga.

Kolam berisi kulit kerang asal-muasal Kulisusu

Melihat wujud fisik keraton yang minim, saya pun menduga pondok itu adalah tempat menyimpan pusaka kerajaan. Di sebelah timur mesjid terdapat sebuah sumur batu yang di tengah-tengahnya tampak belahan kulit kerang. Baru saya tersadar jika sedang memandang ke ‘cikal-bakal’ tempat ini seperti yang santer dilegendakan. Dahulu kala, seorang pembesar di Raha memiliki rumah di pinggir laut yang selalu basah oleh semburan air kerang raksasa (susu). Karena tak sanggup mencungkil dan memindahkan kerang tersebut, diadakan sayembara ke seantero negri. Barang siapa sanggup memindahkan kerang tersebut akan diangkat menjadi menantunya. Syahdan, seorang pemuda sakti namun memiliki penyakit kulit dari Bungku berhasil mencungkil kerang raksasa tersebut dengan tombaknya sehingga terbelah dua dan terlontar jauh. Satu bagian kulit jatuh di Bungku, Sulawesi Tengah dan satu lagi di tempat ini sehingga lahirlah nama Kulisusu (kulit dari susu). Jangan pernah meRombongan ibu-ibu pengiring tarian Butonmbayangkan yang aneh-aneh tentang legenda tersebut karena ‘kulit kerang raksasa’ yang saya lihat memiliki sisi terpanjang sekitar 40 cm saja. Kulisusu adalah salah satu dari empat Barata (pintu pertahanan) kerajaan Buton dahulunya dan ikut menjaga keutuhan negeri di masanya.

 

Motor pun beralih ke jalan berbatu di pesisir, masuk ke pinggir pepohonan rindang dan kami berjalan kaki sebentar. Batu kapurIbu tua Suku Bajo bersisi runcing membuat kami harus berhati-hati melangkah. Desa Bone memiliki dua pemandian yang sangat terkenal, E’e yi Ngkapala dan E’e yi Nunu. Pemandian yang pertama sebenarnya terdiri dari buah dua kolam, namun kolam di depan sudah tidak digunakan. Entah alasannya kenapa, tetapi desas-desus munculnya buaya di kolam itu cukup ampuh membuat tempatnya sepi. Nah kolam kedua, lebih terang dan panjang dengan air yang tampak hijau gelap. Sebenarnya kolam ini berupa mata air yang muncul di celah batukapur, dan sedikit bercampur dengan intrusi laut sehingga rasanya mendekati payau. Kolam di sebelah utara desa, E’e yi Nunu lebih bersih dan lebih disukai anak-anak daripada orang dewasa, mungkin karena tempatnya jauh lebih terbuka.

Kaum Bajo adalah kaum pe Perahu kayu yang dibangunrantau laut yang tangguh, mengembara hingga tersebar ke seantero Asia Tenggara. ‘Dimana laut diselami di situ langit dijunjung’, mungkin itu peribahasa yang cocok untuk menggambarkan kehidupan suku ini. Mereka dengan mudahnya berbaur dengan kehidupan masyarakat asli. Tidak pernah saya mendengar ada konflik antar suku di daerah yang melibatkan kelompok besar Bajo. Sekitar 100 rumah lebih, berdiri di atas tumpukan batu karang pinggir laut yang disusun rapi. Namun, desa ini telah modern. Jalan aspal dibangun dari daratan menuju kampung sedang jembatan kayu nan kokoh melintang di tengah desa menyambung rumah-rumah yang telah berparabola. Beberapa tumpuk agar-agar (rumput laut) teronggok di sudut kampung. Tiga anak kecil di kejauhan tampak menghantam-hantamkan seikat besar tali jemuran ke tumpukan kayu supaya menjadi lembut. Saya pun menunggu sunset ditemani seorang anak kecil yang dengan beraninya terjun ke laut gelap dengan riangnya, hebat! Malam hari, saya yang kelaparan mencari makan di depan pasar. Seporsi sate ayam menemani saya, berikut bonus semangkuk sup dan telur rebus di dalamnya. Sepertinya untuk urusan menyajikan makanan memang orang-orang Ereke sedikit lebih kreatif.

Sebelum Hasri datang di pagi esoknya, saya masuk pasar dan bertemu dengan rombongan ibu-ibu dalam pakaian khas Buton membawa berbagai macam alat musik pukul mirip rebana dan gong. RupanIbu Kulisusu penjual kue burungya rombongan ibu ini adalah para pengiring tarian daerah yang umum diadakan di acara pernikahan. Agak menyesal karena informasi ini saya lewatkan, cukuplah foto mereka menjadi pengobatnya. Pakaian merah menyala berenda keemasan dengan sarung oranye bergaris warna-warni tegas sungguh menarik mata. Dan, yang saya tahu, semua sarung Buton adalah tenunan buatan tangan. Di pelabuhan Ereke, banyak kapal bersandar di kala surut. Di kejauhan, saya melihat sebuah kapal barang sedang dibangun. Saya yakin bahwa tipenya adalah Phinisi, dan dikuatkan oleh Pak Syafrudin yang mengaminkan bahwa si pembuat kapal adalah orang Bugis. Pak tua ini sebenarnya sedang sibuk menemani La Musu yang sedang menambal perahu tuanya. Celah-celah papan perahu bukanlah diisolasi dengan dempul untuk menahan air, tetapi dengan kulit kayu jenis tertentu. Sudah lama saya tahu hal ini, namun baru kali itu lah saya melihat langsung fisik kayu tersebut dan proses pengerjaannya. Kayu yang digunakan adalah kayu putih, yang banyak terdapat di Maluku dan disuling menjadi minyak kayu putih yang kita gunakan. Pak Syafrudin membeli kayu ini langsung dari pulau Buru seharga 40 ribu rupiah per kilogramnya. La Musu, dengan cekatan membuang kayu lama dan memasukkan kayu putih baru dengan padat.

 

 

Nelayan Bajo kembali ke rumahDi lapisan luarnya, diberi pelapis lem plastik, semata-mata hanya sebagai penahan supaya kayu putih tidak lepas keluar walau kemungkinannya kecil karena kayu tersebut akan mengembang begitu terkena air. Pemasangan yang rapi menggunakan kayu yang berkualitas dapat menahan gempuran air laut selama 5 tahun terus-menerus. Kembali ke hotel menunggu Hasri, saya sengaja berjalan menembus ramainya pasar tradisional dan membeli sebungkus besar ‘kue burung’ asli Kulisusu. Terbuat dari terigu, telur dan gula, kue ini dibentuk seperti tubuh burung lengkap dengan beberapa ‘coretan’ merah layaknya corak bulu.

Matahari masih membayang di ufuk timur ketika kami sudah meluncur menuju pantai Membuku. Pepohonan kelapa menaungi hampir seluruh bagian pulau, dan di bawahnya bernaung puluhan perahu nelayan beserta jaringnya. Sisi luar pantai sangat landai sehingga di saat air surut 100 meteran dasar pasir berganggang terungkap. Dibentengi tebing batukapur diAnak-anak Desa Lantagi dan Moloku tiap ujungnya, pantai ini tempat yang cocok sekali untuk duduk bersantai menikmati angin laut dan suara gagak yang bersahut-sahutan. Setelah bertanya ke nelayan setempat, kami pun mulai mendaki tebing kecil di sisi barat pantai mencari laguna Membuku. Berjalan menunduk menerobos semak-belukar selama 5 menit, tampak samar-samar cekungan luas di sebelah kiri. Di tengahnya ada genangan air seluas 100 m persegi. Sepertinya ini lah tempatnya, karena di sekitar genangan itu tampak becek dan akar bakau muncul dimana-mana. Positif ini adalah laguna, karena posisi air laut sedang surut dan profil danau itu cocok sekali dengan kondisi itu. Namun, jangan membayangkan dengan laguna di Sempu, danau ini tidak jernih dan satu-satunya yang menarik adalah naungan pepohonan yang membuatnya teduh.

Kampung Lantagi yang terletak di sisi selatan Ereke, disebut sebagai mysterious village. Konon, dahulu masyarakat seluruh desa tinggal di sebuah gua besar dan mereka semua pindah ke kamPesisir perbatasan Bone dan Lemopung ini. Lokasi gua tersebut selalu dirahasiakan karena tidak ada satu penduduk pun yang bersedia buka mulut. Tentu saja, keunikan desa ini masuk dalam daftar incaran saya. Jalanan sudah lumayan baik sehingga jarak yang dahulu ditempuh selama dua jam dapat dijangkau selama 45 menit saja. Saya yang dari awal sudah membayangkan desa yang sangat tradisional dan terkurung di tengah-tengah lembah dibentengi perbukitan kapur, jadi kecele. Sebagian rumah di Lantagi sudah berbeton, namun masih tampak beberapa rumah kayu tua yang seragam bentuknya menandakan memang mereka dJejeran perahu penduduk Boneibangunkan rumah untuk dihuni. Bukit yang menyimpan gua misterius mereka tak tampak, alih-alih desa ini hanya berjarak 1 km saja dari pantai dengan topografi bergelombang lemah. Dua kali bercakap-cakap dengan penduduk, isu hijrah dari gua tersebut dibantah. Memang dahulunya mereka tinggal tersebar di kebun agak jauh ke hutan, namun tidak ada yang tinggal di gua. Mungkin ada satu dua keluarga tapi itu pun tidak sesungguhnya benar-benar ‘sebagai penghuni’ gua.

 

Memiliki arti yang kurang-lebih ‘air yang tampak di saat mentari muncul’ menyurutkan niat kami di sore itu untuk menemukan lokasi mata air E’e Mataoleo. Sebagai gantinya, saya meminta Hasri untuk kembali ke desa Bone yang kami lewati sebelumnya. Saya memang sudah berniat untuk membeli ikan bakar sebagai calonPembakaran ikan Cakalang makan malam terakhir saya di hotel. Saya pun menghampiri sebuah pondok yang penuh asap, mereka sedang membakar dua buah kepala ikan tuna yang sangat besar. Hanya untuk dikonsumsi mereka sendiri, saya berpindah ke pondok di sebelahnya dan memang sudah rezeki sepertinya, dua deret penuh ikan bakar siap dijual masih panas mengebul-ngebul dengan aromanya yang khas. Tiga buah cakalang bakar berukuran besar (ikan asap di Maluku) dan sebuah cakalang yang lebih kecil berpindah ke motor. Tiga ekor besar untuk Hasri dan keluarganya sedang satu yang kecil untuk saya, bukan main senangnya dia. Selama membeli ikan dan menunggu sunset itu, ramai sekali suasananya. Para ibu dan anak kecil sibuk untuk meminta difoto dan kaum lelakinyDermaga speedboat pemandian Ee Yi Ngakapalaa mengajak ngobrol dengan ramahnya. Sunset di desa Bone Lipu adalah salah satu sunset terindah yang pernah saya saksikan. Deretan pepohonan kelapa dan jejeran perahu yang ditambatkan menjadi foreground yang nyaris sempurna. Terlebih-lebih rona langit tampak membara dengan gradasi yang aduhai. Refleksinya membayang jelas di permukaan laut yang saat itu sangat tenang. Tak sadar, selama 15 menit itu saya sibuk berjalan hilir-mudik membawa kamera terpasang di tripod berpindah-pindah angle. Sekali terpaksa mengambil shot dengan tiarap di atas pasir, Ereke memang eksotis !

How to Get There :

Ereke dapat ditempuh dari dua kota, Baubau dan Kendari. Dari Kendari, MV Cantika Inova melayani rute Kendari-Wa Ode Buri, berangkat pukul 09.00 dan kembali pukul 13.00 setiap hari. Ekonomi 90 ribu dan VIP 150 ribu dengan lama perjalanan 2,5 jam, tiket dapat dibeli di sekitar pelabuhan atau hub 0401-3129747/081247009551. Alternatif lain dengan menggunakan kapal kayu penumpang dengan lama perjalanan 5 jam, harga tiket 35 ribu.

Baubau-Ereke menggunakan Kijang/APV yang diubah menjadi kendaraan umum, menempuh perjalanan 6 – 7  jam dengan ongkos 100.000 rupiah. Berangkat menunggu penumpang penuh paling awal pukul 6 hingga pukul 8 pagi dari terminal Lapangan Tembak Baubau.

Maskapai penerbangan yang melayani rute ke Kendari adalah Lion Air, Garuda Indonesia, Batavia dan Sriwijaya dengan harga tiket 1,5 juta one way. Sedang kota Baubau dapat ditempuh dengan penerbangan transit via Makassar setiap hari oleh maskapai Lion Air dan Merpati dengan harga tiket 1,7 juta one way.

Ojek dari Pelabuhan Wa Ode Buri seharga 25 ribu rupiah menuju Ereke. Di dalam kota ojek berkisar antara 3 – 5 ribu rupiah sekali jalan. Sewa ojek satu hari penuh sekitar 85 – 100 ribu all in.

What to Do :

Menikmati keindahan alam, berenang di laut atau merasakan pemandian alami dapat dilakukan di sini. Bagi yang senang akan sejarah, bangunan-bangunan keraton di Lipu dapat menarik minat tersendiri. Pergi ke desa di pesisir, kita akan banyak menemukan ikan-ikan segar yang jika anda beruntung, dapat merayu mereka untuk dijual dengan harga yang murah.

When to Go :

Waktu terbaik adalah di bulan Mei – Agustus di saat cuaca cerah. Bagi yang menyukai sajian tari tradisional, sehabis panen di bulan Agustus diadakan pakande-kandea (makan-makan). Demikian pula setelah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, digelar tarian di baruga keraton seperti tari Kompania.

Where to Stay :

Hotel terbaik di Ereke adalah Len Lin (Jl La Ode Sure, Kulisusu, 0403-22974) mulai dari 100 ribu double bed, tersedia pula yang twin bed. Sementara untuk yang menyukai pemandangan teluk Ereke dapat mencoba Wisma Labula (Jl By Pass no 2, Kulisusu, 085241874771) mulai dari 80 ribu.

12 Responses to “Eksotisme Pesisir Ereke”

  1. good note….

  2. wah bagus sekali artikelnya. makasih banyak mas uda send ke email aku. penting untuk pengembangan wisata SLTRA kedepan amiin

  3. sayang sejarahnya ga enak

    • Maksudnya tidak enak bagaimana, bisa diperjelas? artikel perjalanan ini ditulis berdasar personal experience, jadi tentu saja subyektif sekali. Enak dan tidak enak menjadi relatif, yang penting fakta tidak diubah dan tetap apa adanya.

  4. arifin Says:

    buton utara memang kaya akan potensi sumber daya alam dan budaya yang unik, yang dibutuhkan kepedulian pemeritah daerah dan masyarakat untuk memajukan wilayah ini.

  5. No anything to say…. i just wanna say….amazing!!!…..

  6. buton utara memang mantap apalagi ikan asapnya yang berada di desa bone lipu sungguh nikmat jika di santap dengan kasoami nya..

  7. Nur Hafiza Says:

    Terima kasih banyak kak sdh menggambarkan dengan indah tempat ini, sy baru membacanya sekarang dan ini seperti membawa sy ke masa itu lg terima kasih

Leave a reply to sigha Cancel reply