Archive for Togian

Ampana – Togian

Posted in Jalanjalan with tags , , on March 30, 2014 by heruhendarto

Versi edit telah diterbitkan di majalah Lion Air, September 2013

Sekitar 200 orang penumpang sudah memenuhi KM Duta Samudera dan saya tidak kebagian tempat sama sekali. Kapal ini memiliki dipan-dipan bertingkat di deknya dan diisi oleh para penumpang. Sebagian besar dipan dilengkapi dengan kasur busa plastik tipis untuk tempat berbaring namun sepertinya penumpang malah lebih suka menggunakan sarung sebagai alas. Saya yang datang pukul 10.30 pagi, hanya bisa naik ke dek dua dan merebahkan badan di buritan kapal dekat tangga naik di atas ruang mesin. Te Para penumpang bersiap menaiki kapal kayu menuju Wakairnyata saya tidak sendirian, sekitar 10-an turis asing dari berbagai negara pun bernasib sama, terdesak di belakang berikut tas-tas rucksack kami yang segede gaban. Saya sendiri tidak masalah karena toh perjalanan hanya 5 jam, demikian juga mereka sehingga kami yang senasib pun share tempat duduk. Belgia, Spanyol, Belanda, dan Perancis adalah negara asal bule-bule ini. Saya pun berkenalan dengan beberapa orang termasuk Raul, seorang bule santun khas mediterania. “Well, I’m a teacher and every holiday I went abroad, this time Indonesia, India year before”, katanya. Wah, enak banget kayaknya ya jadi guru di luar negeri ternyata bisa travelling ke luar. Kapan ya guru-guru kita bisa melakukan hal yang serupa pikir saya. Saya pun berbasa-basi sejenak, sambil kaget juga takjub, saya yang setinggi 1,8 m ternyata tidak ada apa-apanya dibanding Raul yang tinggi dan kekar ini. Tapi saya tetap bersyukur walau kalah tinggi karena di langit-langit atas saya, tampak paku-paku runcing bermunculan dengan seramnya. Saya yakin jika tersenggol, lukanya tidak akan seberapa namun tetanusnya itu yang bisa membuat saya “lewat”.

Tepat 10.42 siang, ketiga kapal berangkat Menikmati sunset yang elok di Kadidirihampir bersamaan dari pelabuhan Ampana. Cuaca demikian cerahnya saat itu dan angin bertiup sedang menerpa kapal. Rasa kantuk yang datang mendera tiba-tiba hilang ketika saya dikagetkan dengan pemandangan indah di perjalanan menuju Wakai. Di beberapa tempat, tersebar pulau-pulau kecil dengan pesisir yang berwarna hijau toska. Tampak deretan rumah-rumah kayu di kampung-kampung nelayan pada sudut-sudut pulau yang terlindung dari ombak. Sepertinya damai betul jika benar-benar bisa tinggal di kampung nelayan itu, satu-satunya keramaian hanyalah deburan ombak yang terhempas indah tersaji gratis di depan.

Tiba-tiba terdengar suara berisik dari ruangan bawah, seperti suara mesin yang jammed dan terlihat pula kepulan asap hitam keluar. Dua orang crew kapal yang sebelumnya tenang-tenang saja di atas, langsung membuang rokoknya dan berlari ke bawah. Saking kencangnya, tangga turun 2 meter yang curam mereka lewati dengan sekali lompat! Mesin pun mati total sementara penumpang menjadi gelisah karena kapal terombang-ambing angin timur dan mulai menjauhi Pulau Batudaka. Sinyal handphone sudah lenyap dari dua jam sebelumnya sementara dua kapal lainnya sudah tidak tampak di muka. Menikmati sunset yang elok di KadidiriTepat pukul 13.50 siang status kami berubah menjadi penumpang kapal hanyut. Kami dan para bule yang notabene pendatang, tidak bisa menutupi kecemasan tergurat di wajah kami. Penduduk lokal pun, yang sehari-harinya terbiasa menggunakan moda transportasi ini beberapa kali menghela nafas keras dan bergumam kesal. Untunglah, mesin segera berputar kembali dan kapal pun meluncur walau perlahan menuju Wakai. Ternyata, kerusakan tadi diakibatkan engine fan-belt yang putus sehingga perbaikan pun dilakukan seadanya dan mesin digeber pelan untuk mencegah kerusakan terulang.

Mendekati ashar, kapal pun merapat di Wakai yang merupakan ibu kota dari kecamatan Una-Una. Kami yang kebingungan karena belum melakukan reservasi sebelumnya lantas menaiki salah satu perahu milik resort yang memang tersedia di situ menunggu pelanggan. Dari tiga buah pengelola resort di pulau Kadidiri, kami memilih Kadidiri Paradise karena berharap masih ada kamar yang tersisa. Liburan musim panas kali ini membuat tempat sekualitas surga ini disesaki pengunjung luar. Saya sendiri tidak masalah, kalau penuh pun masih bisa memilih opsi untuk menginap di pantai saja ditemani bulan yang mulai merona penuh. Yang penting, ada tempat untuk MCK dan makan saja sudah lebih dari cukup. Raul dan Muhida yang berasal dari Perancis pun setuju dengan saya. Lagipula mereka telah menempuh penerbangan beribu-ribu mil ke Jakarta dan bersusah payah menuju kepulauan terpencil di Teluk Tomini ini, tentu tidak akan kembali begitu saja dengan mudahnya. Dari pembicaraan motorist yang mengendalikan perahu, samar-samar diantara deru mesin saya dengar resort hampir penuh. Hampir bagi saya adalah harapan walaupun saya sadar saat itu kami datang bertiga belas, jumlah yang cukup banyak. Lima belas menit kemudian, di bawah cuaca mendung, kami pun sudah tiba di pesisir Kadidiri. Saya dan beberapa tamu beruntung masih memperoleh kamar sementara empat orang terpaksa tidur di ruang santai lantai dua. Sedianya, esok yang hari Minggu, akan banyak pengunjung yang check out sehingga pengorbanan hanya perlu dilakukan malam ini.

Sunrise di timur Kadidiri, di perairan tenang lagunaTidak membuang waktu, saya segera lari ke pantai menikmati suasana sore itu. Penginapan-penginapan di Kadidiri resort memanjang menghadap ke barat, tersusun berturut-turut dari utara ke selaran, Kadidiri Paradise, Black Marlin dan Lestari Kadidiri. Kadidiri Paradise menempati lahan terluas sementara dua resort lainnya dibentengi belakangnya oleh julangan tebing gamping. Kadidiri Paradise sendiri cukup apik dengan view-nya menghadap laut lepas dan jetty kayu yang menghiasi. Dua resort lainnya malah tidak kalah cantik karena di depannya terdapat pulau-pulau kecil karang seolah-olah seperti pot raksasa yang membingkai pantai itu. Tempat ini begitu tenangnya sehingga kita serasa berada di dunia lain. Hanya ada deburan ombak dan lambaian pulau kelapa yang menemani. Di pantai, tampak karang-karang hidup berwarna-warni melambai-lambai terayun oleh arus laut dan di sisinya beberapa turis sedang bersenda-gurau dalam air. Menguping pembicaraan turis di samping, terdengar bahwa beberapa dari mereka akan menuju Fadhila Cottage di desa Katupat yang berjarak satu jam perjalanan dari Kadidiri. Untuk fasilitas, Kadidiri memang nomer satu tapi soal akses ke lokasi diving yang tersebar di Togian, pulau Katupat adalah tempat yang paling cocok.

Beberapa turis bermain beach volley sementara sisanya tergeletak di pantai berleha-leha sambil membaca buku. Dari tebal buku yang mereka bacaCuatan pulau-pulau kapur kecil di perairan membiru sekitar Kadidiri, saya dapat mengira-ngira berapa lama liburan mereka sesungguhnya. Delapan sentimeter tebal buku yang mereka baca, dipastikan liburan mereka tidak kurang dari 3 minggu sedangkan buku-buku setebal Kamus Umum Bahasa Indonesia biasanya mereka habiskan kurang dari 2 minggu. Beberapa dari merasa terusik dan memandang curiga ke saya yang menenteng kamera DSLR mendekati posisi mereka. Saya tersenyum saja dan membalikkan badan menghadap matahari yang mulai bergerak mendekati ufuk sambil menancapkan tripod. Mungkin dikiranya saya mau mengambil gambar mereka. Maaf ya, kalo bikini saja sih gampang kok nyarinya, tapi sunset yang merona merah di tempat terpencil di tengah Teluk Tomini adalah moment yang sangat-sangat jarang bisa diperoleh orang. Tidak banyak orang Indonesia yang melakukan perjalanan ke sini dan beruntung bisa mengabadikan keindahan surga Tomini yang malahan lebih tersohor di Eropa ketimbang negeri sendiri.

Sebenarnya saya agak pesimis dengan cuaca perairan sore itu. Sedari siang mendung menggantung di atas Tomini sehingga matahari pun terhalang sinarnya. Namun, saya yang sudah sering menghabiskan waktu memburu sunrise dan sunset di Indonesia timur masih bersemangat karena awan yang menggantung hanya terdiri dari satu lapis saja. Jika matahari sudah tenggelam sejenak dari ufuk, bias sinarnya masih cukup terang untuk memberi rona yang indah di awan yang menggelayut tinggi. Benar saja, tiga menit setelah matahari masuk sepenuhnya ke permukaan laut, sinarnya memberikan rona jingga, merah dan ungu yang begitu indahnya. Beberapa turis yang tersadar akan indahnya sunset kala itu berlarian ke jetty kayu dan ikut mengabadikan keindahan alam yang tak terkira ini.

Gradasi sunset yang elok dan lembutMalam hari pukul 19.00, kami semua makan malam bersama di aula besar. Dari 32 orang tamu malam itu, hanya kami bertiga yang berwajah lokal. Walhasil, oleh pemilik penginapan, kami disediakan tempat tersendiri di pojokan. “Supaya tidak diganggu, Mas,” demikian kata Lina, kepala pelayan di situ. Entahlah, apa agar kami yang tidak diganggu atau malah yang tidak mengganggu, yang jelas kami menikmati sekali menu makan malam saat itu. Seekor ikan bakar bubara besar (jackfish) terhidang di meja kami, demikian pula spaghetti bologna porsi jumbo. Kami pun yang memang kelaparan sedari sore, langsung melahap hidangan tersebut dengan cepatnya. Tidak disangka, desert pun terhidang dan hanya khusus ada di meja kami yaitu bakwan. Tiga orang bule di samping saling adu pandang dan kemudian tanpa ragu meminta bakwan kami itu. Kesulitan menjelaskan apa itu bakwan dalam bahasa Inggris, teman saya hanya berujar : “fried vegetables”. Mereka sepertinya mengangguk mengerti dan ludeslah bakwan jatah kami itu. Pukul 20.30, kami semua terkapar kekenyangan di jetty kayu Kadidiri Paradise sambil menyaksikan bulan purnama yang menggantung terang dengan eloknya di atas perairan Tomini. Pengunjung lain tampak duduk-duduk di seputaran api unggun dan menyetel lagu dari music player yang mereka bawa. Kami pun ikut terbawa beat lagu pop yang enak di telinga, yang ternyata disetel oleh dua orang bule Finlandia. Sayup-sayup deburan ombak terdengar, membuat saya segera kembali ke kamar untuk beristirahat malam itu, mempersiapkan fisik untuk aktivitas esok harinya.