Pesisir Buli, Surga di Timur Halmahera

(versi edit telah diterbitkan di Majalah JalanJalan Oktober 2009)

Oleh : R. Heru Hendarto

Deru baling-baling terdengar membahana diiringi dengan getaran mesin yang tidak kalah hebohnya. Saya terpaksa terduduk menyandar kursi karena pesawat ini terbang mendongak dengan hidung 150 terangkat ke depan. Wiro Sableng, demikian julukan orang-orang untuk pesawat kecil ini. Tipe aslinya adalah Casa 212 buatan Nurtanio dahulu, namun tiga angka terakhirnya lah yang lebih identik dikenal orang sehingga muncul julukan konyol tersebut. Berkapasitas 25 orang penumpang, pesawat baling-baling ganda ini membawa saya memasuki daratan Halmahera. Segala cerita klasik tentang pilot yang merokok di kabin, menggunakan lipatan koran sebagai sunvisor dan ngelap kaca jendela depan pesawat menggunakan serbet benar-benar saya saksikan sendiri di sini. Malah ada cerita yang lebih heboh lagi dari teman-teman. Di saat lebaran tiba, banyak penumpang yang harus merayakannya di rumah mereka, seputaran Ternate dan Manado. Karena permintaan banyak, seringkali mereka menaiki pesawat non seat. Jadi terpaksa berdiri di alley, yang merasa pegal dipersilahkan duduk bersila di lantai pesawat. Tidak begitu berbeda dengan bus kota rasanya.

Dari bingkai jendela tampak di bawah bandara kecil membentang di tepi pantai dengan indahnya. Tidak ada keramaian di sini, maklumlah bandara ini terletak di luar kota dan hanya mengakomodir empat hingga lima kali flight dari dua maskapai dalam seminggunya. Begitu saya turun dari pesawat, rombongan calon penumpang sudah berdiri di pinggir lapangan udara. Bahkan saya lihat di kejauhan seorang calon penumpang datang mengendarai boti (sampan bermesin) dan langsung bergegas memasuki pesawat tanpa membawa bagasi. Begitu efisiennya bandara ini, sehingga proses check in, baggage, loading dan lain-lain total hanya dilayani oleh empat orang personel saja. Saya segera menaiki kendaraan jemputan, dua buah Suzuki Trail 125 cc dan dengan gagahnya mengemudikan motor offroad tersebut melewati jalanan aspal berbatu menuju Dusun Waisumo, tempat saya beristirahat nantinya. Sebuah rumah kayu yang cukup besar menjadi tempat bernaung saya dari angin pantai yang berhembus cukup kuat saat itu.

Seperti biasa, saat ufuk timur memerah segera saya bangun dan bergegas menuju samping rumah. Motor trail segera saya tuntun dan pacu menyusuri pantai timur berpasir lembut mencari view yang menarik. Tidak ada orang yang tampak batang hidungnya subuh itu dan saya memacu trail dengan kecepatan sedang di antara deburan ombak laut yang membahana. Nikmat sekali rasanya, untuk beberapa waktu seolah-olah saya seperti melayang di udara terbebas dari beban hidup. Di satu titik pantai yang cukup mempesona, saya pun berhenti. Ufuk merah merona muncul dengan indahnya tepat di atas bandara. Di selatan, tampak di kejauhan gemuruh gelombang sungai yang bertemu dengan gempuran ombak laut. Semuanya menciptakan harmoni alam yang luar biasa indahnya. Segera saya menggapai kamera dan mengabadikan momen langka dalam hidup ini. Matahari mulai muncul sepenuhnya di atas laut menerangi bunga rerumputan seolah-olah menyambut kedatangan pagi nan lembut. Sesaat kemudian saya pun segera kembali ke Waisumo untuk mempersiapkan diri akan aktivitas hari itu.

Selesai mandi dan sarapan, sambil menunggu kendaraan yang sedang diperbaiki, saya menuju belakang kampung. Di sini terdapat rawa air payau yang cukup luas. Bagian dalamnya memang penuh dengan lumpur, namun bagian luarnya berdasar pasir dan bebatuan serta dialiri air sungai yang sangat jernih. Saya pun menghentikan langkah sejenak di jembatan yang menghubungkan dusun dengan pantai. Jembatan ini terbuat dari kayu dengan konstruksi sederhana, namun cukup kuat untuk dilalui dua orang. Pagi itu adalah hari pasar di Buli sehingga tampak beberapa penduduk desa mengayuh sampannya menuju pesisir Buli untuk berbelanja. Riak kayuh perahu menimbulkan gelombang-gelombang simetris di permukaan dan membiaskan pantulan pepohonan kelapa yang berjejer asri seolah-olah membentengi sungai dari hempasan air laut di sebelahnya.

Tampak rekan saya melambai-lambai dari kejauhan, sepertinya kedua motor sudah siap. Si Hitam dan Si Kuning, demikian panggilan kedua motor tangguh ini. Si Hitam tampak lebih jangkung dan memiliki kaki yang kekar sedangkan Si Kuning lebih pendek dengan tongkrongan standar namun tarikannya lebih garang. Dengan berboncengan berdua kami berempat melaju kencang di atas jalanan aspal-batu yang sudah rusak parah menuju Kota Buli. Deru ban pacul melemparkan debu dan kerikil ke belakang sehingga memaksa kami untuk saling berjejeran agar tidak terkena lontarannya. Dahulu, jalan dari Buli menuju bandara ini teraspal dengan baik. Namun seiring waktu dan minimnya perbaikan, kondisinya menjadi parah, dan bahkan lebih buruk dari jalan tanah. Kami hanya berpapasan dengan dua motor bebek dan setelah dua puluh menit kami berpacu dengan adrenalin akhirnya kami mulai memasuki keramaian kota.

Buli, adalah awalnya sebuah desa yang kemudian berkembang menjadi kota karena aktivitas pertambangan nikel yang sedang marak berkembang. Nama-nama desa masih mencerminkan betapa penghuni desanya awalnya masih jarang dan tinggal berkelompok-kelompok. Nama Buli Sarani (Nasrani), Buli Islam dan Buli Lama menandakan bahwa pemukiman masyarakatnya dahulu terpisah-pisah. Namun itu cerita dahulu, saat ini batas tersebut tidak jelas dan masyarakatnya sudah membaur dengan masyarakat pendatang. Dimana-mana, dapat kita lihat pekerja tambang berseragam menunggu jemputan yang akan membawa mereka ke beberapa lokasi tambang di sekitar. Seperti halnya kota pertambangan di daerah lain, begitu sebuah aktivitas tambang dimulai, maka berbagai aktivitas lainnya seperti pasar, perumahan dan lain-lain akan ikut marak bermunculan.

Di sela-sela jalan sempit kota, kami berempat menuju pasar tradisional yang terletak tepat di pinggir pantai. Tidak begitu ramai saat itu namun di pantai kami melihat banyak anak-anak dan remaja menghabiskan pagi yang cerah memancing di pinggir laut membiru di antara boti dan kapal kayu. Sedangkan anak putri memilih untuk bermain pasir atau boneka beramai-ramai di pinggiran. Kagum juga saya melihat begitu ekspresifnya masyarakat di sini yang ditandai dengan warna-warni cerah dan berani yang menempel di perahu-perahu mereka. Sayur adalah komoditi yang cukup susah dibudidayakan di sini, namun beruntung Buli bertetangga dengan desa transmigran, Subaim. Pasokan sayur dan buah-buahan disalurkan oleh Subaim yang berjarak dua jam perjalanan. Walaupun relatif berjarak dekat, jangan mencoba untuk menyewa ojek malam hari ke sana. Tidak ada tukang ojek yang berani sendirian berjalan melalui jalur Subaim-Buli. Selain khawatir masalah di jalan seperti kerusakan mesin dan ban bocor, mereka juga sangat takut akan gangguan makhluk halus khas Halmahera, Swanggi. Hantu lokal ini sering muncul mengganggu manusia, dapat menyerupai binatang ataupun benda mati dan dikisahkan juga bila sedang marah dapat membunuh manusia. Pantas saja ada seorang bapak yang menegur saya: “Bapak dari Waisumo ya? Kok berani jalan malam ke sana?”. “Memang kenapa Pak?”, tanya saya. “Sering muncul Swanggi di situ”, jawabnya. Waduh, gara-gara diberitahu begitu saya jadi malah takut, mending saya tidak tahu sekalian. Saya pribadi tidak begitu percaya dengan cerita semacam itu, tapi di luar cerita menyeramkan itu jalur perdagangan Buli-Subaim tampak lancar-lancar saja. Dibuktikan dengan banyaknya ibu-ibu berbelanja memborong sayuran Subaim dan makanan pokok naik bentor.

Bentor adalah kendaraan yang umum terdapat di sini. Sebagai akronim dari becak bermotor, kendaraan yang berasal dari Manado ini tampak khas mencolok di jalan raya. Muka depan seperti becak yang muat dua orang, sedangkan belakangnya bertenaga sepeda motor yang telah dimodifikasi dashboard dan bagian depannya. Suaranya yang relatif berisik dan warna body yang ngejreng seperti halnya warna perahu-perahu di sini cukup menarik perhatian saya. Bentor, seperti halnya ojek, tidak memiliki trayek. Namun menurut pandangan saya, lebih banyak bentor yang berseliweran ketimbang ojek. Ibu-ibu atau kaum pedagang adalah langganan bentor yang memiliki nilai plus, dapat membawa barang belanjaan dengan jumlah banyak. Di perbatasan kota, tampak beberapa bengkel khusus bentor berderet di pinggir jalan menandakan populasi bentor yang cukup banyak di sini. Selain Buli, bentor juga banyak terdapat di kota Soasiu-Tidore.

Malam itu, kami bercakap-cakap dengan beberapa warga dusun. Karena esoknya saya sudah harus kembali ke Ternate, pembicaraan pun berlanjut hingga larut malam. Macam-macam bahan pembicaraannya, mulai dari yang serius hingga yang super kocak. Memang dasarnya orang-orang daerah timur piawai dalam membanyol jadi cerita lucu biasa pun bisa mereka tuturkan hingga kita bisa sakit perut akibat tertawa. Cerita-cerita lain pun berhamburan malam itu. Mulai dari adanya Suku Tolgutil, suku asli Halmahera yang bertubuh tinggi besar dan hidup nomaden. Mereka hanya mengenal barter, dan walaupun sebagian kecil sudah mengenal jual-beli namun jarang-jarang sekali mereka turun ke pasar menjual hasil bumi. Keberadaan mereka sukar dilacak, dan hanya orang-orang eksplorasi mineral dan logging kayu sajalah yang kadang-kadang bertemu mereka nun jauh di dalam hutan sana. Demikian pula cerita mengenai pergaulan muda-mudi di sini cukup menarik hati saya. Bagaimana tidak, syarat seorang pemuda dapat menikahi gadis idamannya sederhana saja. Menurut adat, sang pemuda harus sudah bisa memanjat pohon kelapa. Jangan anggap enteng syarat ini karena pohon kelapa di daerah ini tingginya setara gedung 3 tingkat. Jadi mau semapan apapun anda, jika belum bisa memanjat pohon kelapa dan mempersembahkan buahnya kepada pujaan hati jangan harap bisa menikahinya. Saya pun mengakhiri cerita dengan pamit kepada teman-teman untuk beristirahat, bersiap-siap meninggalkan Buli yang indah dengan pesawat pagi-pagi sekali.

Getting There :

Buli dapat ditempuh dari Ternate dengan maskapai Merpati Nusantara dengan frekuensi penerbangan 3-4 kali seminggu. Selain Merpati, tersedia juga maskapai DAS dengan pesawat lebih besar. Harga tiket sekitar 400 – 500 ribu rupiah dengan lama penerbangan 40 menit. Jalur lain yang dapat ditempuh dari Ternate adalah menyeberang dari Bastiong ke Sofifi selama kurang-lebih 20 menit seharga 15.000 rupiah. Lalu melanjutkan perjalanan dengan kendaraan dobel gardan selama kurang lebih 14 jam. Perjalanan darat cukup menantang, melewati jalan batu dan tanah, menyebrangi sungai dan hutan. Tiket kurang-lebih 250 ribu rupiah.

Penerbangan ke Ternate dari Jakarta dilayani oleh banyak maskapai seperti Merpati, Lion Air dan Express Air. Transit di Makassar (dan Ternate untuk Lion), total perjalanan mencapai hampir empat jam di luar waktu transit. Harga tiket berkisar 1,8 hingga 2,4 juta rupiah.

Where to Stay :

Tidak ada hotel berbintang di Buli, namun keberadaan losmen cukup banyak. Di seputaran pasar dan pusat kota terdapat beberapa losmen kelas melati yang bisa anda tinggali dengan fasilitas seadanya.

What to Do :

Anda dapat menghabiskan waktu di Buli dengan menelusuri pantainya ataupun trekking ke perbukitan atas untuk menyaksikan panorama laut, pulau dan pesisir yang lebih menarik. Jika jenuh, memancing di laut ataupun island hopping adalah aktivitas tambahan yang dapat anda lakukan.

Kendaraan umum jarang terdapat, pilihannya adalah menggunakan bentor ataupun ojek. Di Buli sudah tedapat ATM sehingga anda tidak perlu menyiapkan dana cash berlebihan. Untuk anda yang pantang dengan makanan tertentu, harus menyiapkan makanan khusus sendiri karena makanan yang dijual di Buli kurang bervariasi.

21 Responses to “Pesisir Buli, Surga di Timur Halmahera”

  1. Anonymous Says:

    Top Markotop…Karya mas Heru mmg okeeee….

  2. saya ke Buli tahun 2007 mas.
    waktu joki bentor nawarin nomor hapenya supaya saya bisa calling dia kalo perlu dianter2, saya malah jiper. hapenya dia udah keluaran paling baru, sementara saya yg dari jawa hapenya masih jadul.wkwkwk..
    Buli luar biasa.. menenangkan dan indah..
    salam..

  3. memang kampung halamanku sangat indah

  4. hmm bagus jga artikelx krn mmpromosikan Buli,
    ad yg hanya melihat dr sisi jalanan yg rusak dn sperti mngeluh krn smpai k Buli…:(, mngkin krna tdk mnikmati jd mrsa trsiksa tnggl d Buli…

    oh iya, kayax “swanggi” tlisannya “suanggi” dan ‘tolgutil’ hrusnya “Tugutil”, atau masx dikastau sma wrga tlsannya bgtu ya?he

    trmkash krn sdh post ttg daerah sy…:D

  5. mantappp…

  6. It’s so beautiful placee 🙂
    God bless my Buli

  7. Anonymous Says:

    buli, au mafia wata,,,

  8. Pengen Informasi Mas, Saya Andre. Kebetulan mau kunjungan ke Halmahera Timur. pengen tanya informasi dan rekomendasi Penginapan di Kota Buli dan Maba, itu range nya berapa yah? serta moda transportasi ke daerah Jara-jara, Lolasita, Turtuling jaya dan Wasile. atas perhatiannya saya ucapkan banyak terima kasih

  9. halo semua … saya ke buli 2007 yang lalu … tadinya saya banyak sekali foto2 perjalanan via darat (hampir 9 jam ke ternate dan menginap di motel) dan laut disana ke arah maba … saya merindukan sekali alam disana … barang kali ada yang mau berbagi foto disana saya sangat senang sekali menerima sumbangan foto2 … terutama pemandangan alamnya … sayang sekali data2 saya harus rusak di hardisk yang sudah kusimpan banyak photo2 pemandangan alam disana ….

  10. hallo salam kenal mas Heru,,ada info terbaru tentang buli?

    • Salam kenal juga mas. Saya sdh lama tinggalkan buli. Berita terakhir seiring pelarangan ekspor nikel mentah, buli semakin sepi. Tetapi jalur penerbangan tetap terbuka lancar.

  11. herwanto Says:

    Salam kenal mas heru,untuk komunikasi apa d buli itu dah ada jaringan seluler ya mas

    • Jangan kuatir mas…saat 2007 ke sana Telkomsel sudah cukup luas coverage-nya dan ada Indosat juga. Sekarang pasti sudah jauh lebih baik, Buli sudah ramai..

Leave a comment